0 Anugerah TERINDAH

Sebuah kisah yang membuat aku bersyukur betapa sebuah anugerah yang sangat indah telah aku dapatkan dengan kedua buah hatiku...yang selama ini telah menemaniku...sering kali aku tidak sabar dan lupa bahwa mereka adalah sebuah amanat yang sangat besar bagi aku dan suami aku...

Hikmah ini aku dapatkan setelah aku mendengar seorang sahabatku bercerita tentang kisahnya dengan sebuah " ANUGERAH " yang di titipkan Allah kepadanya....Dan Allhamdulillah hari ini baru aku bisa membagikan untuk sahabat - sahabatku semua semoga bermanfaat...

Kisah ini..aku tulis dari sudut pandang aku sebagai seorang sahabatku itu yaaa...

Ini Kisah nya...


Anak lelaki itu berumur lima atau enam tahun.
Ia mengenakan kemeja putih dan pullover kotak-kotak hijau dengan logo taman kanak-kanak di dada kiri.
Di bahunya tersandang tas punggung merah dan di dadanya
tersilang tali botol minuman. Ia kelihatan lucu dan manis.

Begitu naik ke dalam angkot, bocah itu menunjukkan hasil origaminya
pada wanita yang mungkin ibunya.
Seekor burung yang sedikit kusut dan penyok.
Ia juga menyanyikan lagu baru yang diajari gurunya hari itu.

Lihat ibu keretaku yang baru
cukup besar untuk ayah dan ibu
roda tiga buatanku sendiri
dari kulit buah jeruk bali..."


Aku tersenyum geli mendengar suaranya yang agak sumbang tapi penuh
semangat.
Bocah itu balas tersenyum padaku, kemudian kembali asyik
memberondong ibunya dengan berbagai cerita.
Mulutnya tak henti mengunyah donat yang barangkali dibelikan ibunya di depan sekolah.
Ibunya menyahut sesekali dengan anggukan atau gumaman setengah tak
peduli, sementara tangannya mengibaskan lukisan krayon anaknya untuk menghalau panas.

Aku tidak menyalahkannya. Cuaca siang itu memang panas dan kemacetan
jalan membuat udara pengap.
Melihat bungkusan yang terserak dikakinya, aku yakin ia telah menghabiskan paginya untuk berbelanja kebutuhan dapur.
Tak heran ia kelihatan sangat letih, mengantuk dan tak begitu bersemangat mendengar cerita anaknya di sekolah hari itu.

Atmosfer yang menyengat tidak mengalihkan perhatianku dari anak itu.

Kureguk tiap kata dan lagu yang dinyanyikannya seperti pengelana
kehausan yang menemukan wadi di tengah gurun.
Alangkah rindunya aku akan semua itu.
Aku tak ingin membandingkan anakku dengan bocah lucu di angkot itu, tapi mau tak mau anakku Fajar
singgah ke dalam benakku dan merusak kenikmatanku.

Aku tidak ingin mengulang kembali ketika

Setiap kali memeriksakan diri selama mengandung Fajar, bidan selalu
mengatakan kehamilanku normal dan bayiku sehat.
Karena itu aku dan suami sama sekali tak siap waktu dokter memberi tahu bahwa Fajar...tidak normal.
Ia lahir dengan Down syndrome.

Menyakitkan.
Masa depan anakku sudah ditentukan oleh dokter hanya beberapa menit setelah kelahirannya. Fajar tidak akan tumbuh seperti anak normal dan dia tidak akan bisa menjadi orang dewasa normal yang mampu mengurus dirinya sendiri.

Selain itu dokter juga menemukan kelainan pada jantungnya yang harus
diperbaiki dengan pembedahan.
Ada juga gangguan mata dan tonsil. Hal yang menurut dokter biasa menimpa anak Down syndrome.

Shock yang kualami setelah melahirkan Fajar cukup berat hingga aku harus dirawat agak lama di rumah sakit.
Aku sangat tertekan hingga bahkan tak bisa menyusui Fajar.
Dokter memperkenalkanku dengan wanita pakar penanganan anak Down syndrome.
Wanita itu memberikan buku-buku dan brosur kepada kami.

Tapi, semua yang kubaca malah semakin membuatku tertekan.
Sejak dokter menyatakan bahwa aku positif mengandung, aku selalu berdoa dan
bermimpi tentang seorang anak yang cerdas dan lincah.
Anak yang akan kubimbing mengenal Allah dan Rasul-Nya.
Yang akan kuajari mengaji dan shalat agar ia bisa mendoakan kedua orang tuanya.

Ia akan kubawa tafakur alam ke tempat-tempat yang indah agar pandai bersyukur dan memiliki sifat tawadlu.

Aku akan memperkenalkannya pada saudara-saudaranya yang yatim dan
papa agar hatinya lembut dan peka.
Yang akan mencintai buku-buku seperti aku dan ayahnya.
Anak yang akan jadi seorang pejuang di jalan Allah, demi kebangkitan dan kejayaan Islam seperti panglima gagah itu, Khalid bin Walid.

Kubayangkan jari mungil anakku menyusuri huruf-huruf dalam lembaran
mushaf Al Qur-an.
Jika lelaki, ia pasti lucu dalam baju koko dan peci mungilnya dan
Jika perempuan, ia pasti manis dalam jilbab kecilnya yang berbunga dan berenda.

Rasanya aku bahkan sudah bisa mendengar suaranya yang bening
melantunkan ayat-ayat suci itu.
Suara terindah yang pernah kudengar.

Lalu ke mana bisa kukubur kecewaku saat mendapati Fajar tak mungkin
mewujudkan semua impianku.
Aku hanya bisa berdoa siang malam memohon kekuatan. Aku mengintrospeksi diri, mengingat kembali apa yang telah kulakukan hingga Allah menghukumku dengan memberikan Fajar..anakku

Hingga suatu hari kalimat itu menohokku.
Anakku adalah amanat-Nya, bukan hukuman, bukan aib.
Hanya titipan, bukan milikku.
Apakah aku berhak menggugat jika titipan-Nya ternyata tidak seperti anak-anak
lain?
Aku hanya ditugaskan menjaga dan mengasuhnya dengan cinta,
karena ia dititipkan Allah yang rahman dan rahim-Nya tak pernah surut dari sisiku.
Bukan tugasku menilai apakah Fajar layak jadi anakku atau tidak.
Setelah itu aku kembali menemukan ketenangan.

Tapi tak urung kesedihan itu kerap. Sangat menyakitkan.
Tiap kubawa Fajar ke dokter dan melihat ibu lain dengan bayi seumur Fajar, aku
kembali terbenam dalam kepiluan.
Entah untuk Fajar atau untuk diriku sendiri.

Bulan demi bulan berlalu. Sementara bayi lain mulai tertawa dan
mengeluarkan suara-suara lucu, Fajar hanya diam.
Ia memandang kosong ke depan.

Tiap hari suamiku dan aku harus bergantian merangsang otaknya dengan
mainan warna-warna dan kerincingan yang ribut. Fajar baru menunjukkan reaksi saat usianya hampir delapan bulan.

Fajar baru belajar berjalan di usia dua tahun.
Bicaranya tak pernah selancar anak-anak lain dan kosa katanya sangat terbatas.
Ia tak bisa mandi dan berpakaian sendiri hingga usianya hampir sembilan tahun.

Ia harus disuapi tiap waktu makan sampai ia bisa makan sendiri beberapa bulan terakhir ini.

Yang paling menjengkelkan, sulit sekali membiasakannya buang air di
kamar mandi walaupun aku dan suamiku sudah mengajarinya selama
delapan tahun dari sepuluh tahun usianya.

Mengajari Fajar salat dan mengaji hampir tak mungkin.
Fajar hanya bisa mengikuti gerakan-gerakan salat tanpa bisa menghafal bacaannya.

Setelah beberapa lama, kami menyadari kesalahan kami dan mulai dari
awal sekali. Mengakrabkan
Fajar dengan Allah dan Islam.
Sesuatu yang lebih mudah dilakukan dan dipahami Fajar.

"Di belakang rumah ada pohon jambuu..." suara lantang bocah
berseragam TK diangkot itu mengembalikan perhatianku pada polahnya yang kocak.

Tapi kali itu aku tak bisa menikmatinya tanpa merasa iri.

Iri pada ibu yang tak menyadari besarnya nikmat Allah yang
dimilikinya.
Ada kegeraman dan rasa kasihan pada diri sendiri yang tiba-tiba bergolak dan menenggelamkanku.

Membuat dadaku sesak dan leherku tercekik. Aku tak tahu apakah harus
menyesal atau gembira saat anak itu akhirnya turun dari angkot.

Di bangku yang mereka tinggalkan kulihat burung-burungan kertas itu
gepeng.
Kupungut dan kuperbaiki.

Tiba-tiba mataku kabur oleh air mata. Fajar tak bisa melukis dengan krayon atau membuat origami.
Koordinasi tangannya lemah sekali.

Dalam kepalanku yang gemetar, burung-burungan itu kuremas menjadi
gumpalan kertas. Aku tak sanggup lagi menahan isak.

Dengan suara tercekat kusuruh sopir berhenti. Kusodorkan ongkos dan turun,
walaupun rumahku masih jauh.

Aku duduk di halte yang sepi.
Menarik nafas dalam-dalam dan mengeringkan air mata.

Saat aku menengadah mataku tertambat pada papan putih di seberang jalan.

Sebuah masjid. Ya Allah, inikah teguran-Mu.?
Aku menyeberang. Segera kuambil wudhu dan salat dua rakaat.

Air mataku menetes saat kubaca ayat kedua belas dari surat lukman...

Anisykurlillahi....

Usai mengucap salam aku tercenung.

Kekalutan yang sempat menguasai sudah berhasil kukendalikan.
Aku merasa kosong, tapi damai.

Lalu satu-satu fragmen kehidupan Fajar mulai kembali ke dalam benakku.

Bukan gambaran muram tentang kekurangannya, tapi keistimewaan-keistimewaan
kecil yang mengimbangi dan melengkapi hidupnya.

Fajar suka sekali musik. Ia sulit menangkap dan menghafal lirik, tapi kenikmatan yang terlukis di wajahnya saat mendengarkan musik adalah keindahan tersendiri.
Ia juga tak pernah nakal dan usil, selalu ramah dan murah senyum. Ia tak pernah marah dan ngambek, dan jika dimarahi, cepat kembali ceria.

Ia sangat mencintai adiknya Wulan, yang lahir empat tahun lalu.

Kami sempat khawatir Fajar akan cemburu dengan kehadiran adiknya.

Tapi ia malah antusias membantuku mengurus Wulan.
Sering kudapati Fajar duduk menatap adiknya yang tertidur dengan ekspresi terpesona
yang tak terlukiskan.

Wulan normal dan cerdas sekali tapi ia menerima abangnya tanpa syarat.
Kemesraan di antara keduanya selalu menerbitkan syukur di hatiku dan ayah mereka.

Mengurus Fajar memang menuntut kesabaran dan kegigihan ekstra
dibandingkan mengasuh anak biasa.
Tapi Fajar memang bukan anak biasa.

Ia telah mengajarkan kepada kami makna mencintai tanpa pamrih yang hakiki.
Di zaman saat orang memburu segala yang superlatif; tercantik, terpandai, tergesit,

anakku tidak akan bisa bersaing. Ia tidak mungkin menjadi teknolog,
ekonom atau da'i tersohor.

Tapi apakah itu akan mengurangi cinta kami padanya ?

Mengurangi kegembiraan melihat prestasi-prestasi kecilnya yang dianggap remeh dan sepele

orang lain seperti bisa berpakaian dan makan sendiri ?

Aku dan ayahnya tak akan memperoleh apa-apa darinya.
Kemungkinan besar Fajar akan terus tergantung pada kami.

Dan setelah kami tak sanggup lagi,
mungkin pada Wulan.

Tapi kami memang tak lagi mengharapkan apapun darinya.
Kami hanya mencintainya.

Kudorong gerbang rumah dan kuserukan salam.
Sahutan riang menyambutku.

Pintu terkuak. Wulan menghambur memelukku sementara abangnya tersenyum lebar sambil berjalan goyah di belakangnya.

"Ibu bawa apa, bawa apa?" tanya Wulan.
Ia memekik ketika kukeluarkan sekantung mangga ranum dari keranjang belanjaku.

Fajar tersenyum.
Matanya yang semula kosong berbinar.
Mangga adalah buah kesukaannya.

Aku masuk ke kamar untuk berganti baju setelah berpesan pada pembantu untuk mencuci dan mengupaskan mangga buat anak-anak.

Saat aku keluar, mereka tidak berada di meja makan.

Kupanggil mereka dan kudengar sahutan dari halaman belakang.
Di depan kandang burung parkit Wulan melonjak-lonjak dan tertawa
melihat abangnya dengan sabar menyodorkan potongan mangga lewat
jeruji bambu.

"Ayo kuning! Jangan diam saja! Tuh diambil si hijau deh!" teriak Wulan.

Satu demi satu burung-burung parkit dalam kandang terbang menyambar
potongan mangga dari tangan Fajar.

Aku bertasbih. Mataku pedih.

Sudah lama aku mengamati keistimewaan Fajar untuk mencintai dengan
keikhlasan yang bersih dari egoisme anak seusianya.
Cintanya sangat tulus pada burung-burung kesayangan suamiku, pada ikan hias dan ayam kate yang kami pelihara untuk mengajar anak-anak bertanggung jawab.

Bahkan pada bunga-bungaku di kebun.
Ia gembira mengurus semua itu, walaupun tak pernah mendapat imbalan apapun dari kami.

Kelembutannya terulur bahkan pada kucing-kucing liar yang sering diberinya makan atau anak-anak tetangga yang kerap mendapat bagian dari jatah kue dan buahnya tanpa menuntut balasan apapun.

Aku memang tak punya alasan untuk bersedih dan kecewa.

Fajar mungkin tak bisa membaca dan mengaji.

Tapi perasaannya halus dan penuh kasih sayang.

Dan aku sangat bersyukur atas kelebihannya.

Note : Fitri

Sahabatku...Terima Kasih Sahabatku...engkau telah Mengingatkan kami yang telah di Anugrahi anak - anak yang sehat dan tidak yang tidak seperti engkau dapatkan sebagai amanat...

Renunganku buat mu sahabatku Fitri..." Allah mencoba umat-Nya tiada pernah lebih..di atas kemampuan Ciptaan-Nya Karena Allah sayang kita Subahanallah..

ceritamu telah aku bagikan sesuai amanatmu..kawan...
 

Bucu-Bucu Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates